PengertianMusyawarah, Ciri, Macam, Tujuan, Manfaat dan Contoh : berasal dari kata Syawara yaitu berasal dari Bahasa Arab yang berarti berunding, urun rembuk atau mengatakan dan mengajukan sesuatu. Daftar Baca Cepat tampilkan. Baca Juga Artikel Yang Mungkin Berhubungan : Pengertian Gotong Royong.
KonsepIslam Rahmatan Lil Alamin adalah merupakan tafsir dari ayat 107 surat al-Ambiya (21) sebagaimana dikemukakan di atas. Ayat ini oleh Ahmad Mushthafa al-Maragy ditafsirkan sebagai berikut. Ai wa maa arsalnaaka bi haadza wa amtsaligi min al-syara’ii wa al-ahkaami all althi biha manaathu al-sa’adah fi al-darain illa rahmat al-naas wa
Dengankata lain kepribadian sescorang tidak akan terbentuk dengan semestinya sehingga seseorang tidak memiliki warna kepribadian yang khas sebagai miliknya. Jika terjadi hal yang demikian, seseorang tidak memiliki kepribadian yang otonom dan orang seperti ini akan tidak memiliki pendirian serta mudah dibawa oleh arus masa.
2 Tuliskan upaya yang dapat kamu lakukan untuk: a) Menempatkan Pancasila sebagai dasar negara; b) Menempatkan lagu Indonesia Raya sebagai lagu kebangsaan; c) Menempatkan Bendera merah putih sebagai bendera negara, dan d) Mempososikan Garuda Pancasila sebagai lambang negara! C. Contoh Penerapan dan Sikap positif terhadap Semangat Kebangsaan
Vay Tiền Trả Góp Theo Tháng Chỉ Cần Cmnd Hỗ Trợ Nợ Xấu. - Muhammadiyah merupakan organisasi Islam yang memiliki peran penting dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia. Sebagai salah satu organisasi Islam terbesar, Muhammadiyah berperan dalam membangun tatanan sosial dan pendidikan dalam masyarakat Indonesia sejak masa penjajahan. Beberapa nama tokoh Muhammadiyah yang tercatat sebagai pejuang kemerdekaan seperti, Presiden Soekarno, KH Ahmad Dahlan, Jenderal Soedirman, dan Mas itu, berikut ini tokoh-tokoh organisasi Muhammadiyah yang telah bergelar pahlawan nasional. Baca juga Sejarah Perumusan 12 Langkah Muhammadiyah KH Ahmad Dahlan KH Ahmad Dahlan merupakan tokoh pendiri Muhammadiyah pada 1912, yang berperan dalam memperjuangkan pendidikan bagi kaum pribumi. Selain itu, ia juga mendorong kemurnian ajaran agama Islam di Indonesia, terutama di lingkungan sekitarnya, di Yogyakarta. KH Ahmad Dahlan diangkat menjadi pahlawan nasional melalui SK Presiden No 657 tahun 1961 oleh Presiden Soekarno. Soekarno Presiden Soekarno merupakan salah satu pahlawan nasional yang juga berasal dari Muhammadiyah. Ia menjadi kader Muhammadiyah sejak 1930 dan pernah menjadi pengurus Majelis Pendidikan dan Menengah di Bengkulu. Presiden Soekarno tertarik dengan Muhammadiyah berkat KH Ahmad Dahlan, yang dianggapnya revolusioner. Pemikiran KH Ahmad Dahlan yang mengedepankan pendidikan umat tanpa melupakan modernisasi sebagai arah gerak zaman merupakan ide yang sangat dikagumi oleh Soekarno. Soekarno ditetapkan sebagai pahlawan nasional melalui SK Nomor 081/TK/1986. Baca juga De-Soekarnoisasi, Upaya Soeharto Melemahkan Pengaruh Soekarno Siti Walidah Siti Walidah merupakan istri dari KH Ahmad Dahlan, yang juga sebagai tokoh pahlawan nasional dari Muhammadiyah. Ia merupakan tokoh yang mendirikan Aisyiyah, anak organisasi Muhammadiyah yang bergerak pada pemberdayaan perempuan. Siti Walidah, yang ditetapkan sebagai pahlawan nasional pada 10 November 1971 melalui SK No 42/TK, memiliki permikiran bahwa kaum perempuan berhak mendapatkan pendidikan yang layak. Buya Hamka Buya Hamka adalah sosok ulama terkenal dari Sumatera Barat, gigih berjuang pada awal kemerdekaan Indonesia atau masa revolusi. Ia berperan dalam pendirian cabang Muhammadiyah di Padang pada 1925, sebagai salah satu usaha untuk mempersiapkan para kaum muda agar siap menjadi seorang mubaligh dan Hamka tertular oleh semangat dari Sutan Mansur dalam menggerakan umat Islam melalui Muhammadiyah. Buya Hamka dikukuhkan sebagai pahlawan nasional dengan SK nomor 113/TK/ Tahun 2011. Baca juga Abdul Malik Karim Amrullah Buya Hamka Peran dan Kiprahnya Mas Mansyur Tokoh nasional dalam pergerakan kemerdekaan Indonesia yang berlatar belakang Muhammadiyah adalah Mas Mansyur. Mas Mansyur merupakan tokoh Muhammadiyah yang menjadi salah satu anggota Badan Pengurus Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia BPUPKI. Ia bertemu dengan KH Ahmad Dahlan pada 1915, setelah pulang pendidikan dari Mesir. Mas Mansyur sangat mengagumi pemikiran dan pergerakan KH Ahmad Dahlan, yang berani melawan arus dan merevolusi pendidikan bagi kaum pribumi. Selama di Muhammadiyah, Mas Mansyur mendapatkan peran sebagai ketua Cabang Muhammadiyah Surabaya, Konsul Muhammadiyah wilayah Jawa Timur, hingga Ketua Umum Muhammadiyah pada kongres Yogyakarta tahun 1937. Selain itu, ia juga berperan sebagai tokoh pergerakan nasional dalam menyongsong kemerdekaan Indonesia. Mas Mansyur dinobatkan sebagai pahlawan nasional dengan SK Nomor 162 Tahun 1964. Baca juga KH Mas Mansyur Keluarga, Pendidikan, Kiprah, dan Akhir Hidup Jenderal Soedirman Jenderal Soedirman merupakan seorang jenderal TNI pertama yang aktif dalam organisasi Muhammadiyah. Sebelum menjadi Panglima TNI, Jenderal Soedirman merupakan ketua Pemuda Muhammadiyah dan Kepanduan Hizbul Wathan di Karesidenan Banyumas. Berkat kepemimpinannya di Pemuda Muhammadiyah, ia terpilih menjadi komandan Pembela Tanah Air PETA daerah Banyumas. Dari situ, kiprahnya dalam kemerdekaan Indonesia semakin besar. Jenderal Soedirman ditetapkan sebagai pahlawan nasional melalui SK Nomor 314 Tahun 1964. Baca juga Jenderal Soedirman Masa Kecil, Pendidikan, dan Perjuangannya Selain tokoh-tokoh tersebut, berikut ini nama pahlawan nasional yang juga berasal dari Muhammadiyah. Agus Salim, melalui SK Nomor 657 Tahun 1961 Soetomo, melalui SK Nomor 657 Tahun 1961 Djuanda Kartawijaya, melalui SK Nomor 244 Tahun 1963 Fakhrudin, melalui SK Nomor 162 Tahun 1964 Otto Iskandardinata, melalui Sk Nomor 88 Tahun 1973 Adam Malik, melalui SK Nomor 107 Tahun 1998 Fatmawati, melalui SK Nomor 118 Tahun 2000 Nani Wartabone, melalui SK Nomor 085 Tahun 2003 Gatot Mangkupraja, melalui SK Nomor 089 Tahun 2004 Andi Sulthan Daeng Radja, melalui SK Nomor 085 Tahun 2006 Teuku H. Moehammad Hasan, melalui SK Nomor 085 tahun 2006 Ki Bagus Hadikusumo, melalui SK Nomor 116 Tahun 2015 Lafran Pane, melalui SK Nomor 115 Tahun 2017 Abdurahman Baswedan, melalui SK Nomor 123 Tahun 2018 Kasman Singodimejo, melalui SK Nomor 123 Tahun 2018 Abdul Kahar Mudzakkir, melalui SK Nomor 120 Tahun 2019 Referensi Aidah, Siti Nur. 2020. Mengenal Tokoh-tokoh Muhammadiyah. Yogyakarta KBM Indonesia. Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Mari bergabung di Grup Telegram " News Update", caranya klik link kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.
- KH Ahmad Dahlan merupakan seorang Pahlawan Nasional Indonesia. Ia menjadi pendiri dari Muhammadiyah, organisasi Islam besar di Indonesia. Organisasi Muhammadiyah dibentuk untuk melaksanakan cita-cita pembaruan Islam di Indonesia. Ahmad Dahlan ingin melakukan pembaruan dalam cara berpikir dan beramal sesuai tuntunan agama Islam. Ahmad Dahlan juga sudah menetapkan bahwa Muhammadiyah bukanlah organisasi politik, melainkan bersifat sosial dan bergerak di bidang pendidikan. Baca juga Arie Frederik Lasut Kehidupan, Kiprah, dan Akhir HidupKehidupan KH Ahmad Dahlan atau yang memiliki nama kecil Muhammad Darwis lahir di Yogyakarta, 1 Agustus 1868. Ia adalah putra keempat dari tujuh bersaudara dari keluarga KH Abu Bakar, seorang ulama dan khatib terkemuka di Masjid Besar Kasultanan Yogyakarta. Ketika masih kecil, Dahlan tidak mendapat pendidikan dari sekolah. Keterampilan sastra dasarnya ia dapat dari ayahnya, teman, serta saudara iparnya. Pada usia 8 tahun, Dahlan sudah mampu membaca dan menyelesaikan bacaan Al-Qur'an. Selain itu, sejak kecil Dahlan juga sudah menunjukkan jiwa kepemimpinannya. Ia pun mulai mulai mendalami ilmu Islam saat sudah beranjak remaja.
Muhammadiyah, berdiri tahun 1912, merupakan salah satu organisasi Islam tertua di Indonesia bahkan dunia yang masih tetap utuh dan eksis berjuang hingga detik ini. Sepanjang kesejarahannya yang hampir genap satu abad itu, Muhammadiyah telah berjibaku mencurahkan darma baktinya bagi umat dan bangsa ini melalui karya terbaiknya di berbagai bidang. Tidak hanya berpusar pada ranah pemikiran wacana, tetapi sudah masuk ke ranah aksi-aksi operasional praksis hingga menubuh menjadi ribuan amal usaha yang tersebar seantero nusantara. Menarik untuk dicermati adalah kekuatan apa yang sanggup memelihara keutuhan dan kemanfaatan sebuah gerakan harakah untuk waktu yang demikian lama. Sementara tidak sedikit gerakan serupa di tanah air dan berbagai belahan dunia lainnya yang berumur lebih muda sudah mengalami perpecahan bahkan hilang dari panggung sejarah. Discover the world's research25+ million members160+ million publication billion citationsJoin for free Karakter Muhammadiyah Melandaikan Gagasan Islam Berkemajuan Nyong Eka Teguh Iman Santosa Muhammadiyah, berdiri tahun 1912, merupakan salah satu organisasi Islam tertua di Indonesia bahkan dunia yang masih tetap utuh dan eksis berjuang hingga detik ini. Sepanjang kesejarahannya yang hampir genap satu abad itu, Muhammadiyah telah berjibaku mencurahkan darma baktinya bagi umat dan bangsa ini melalui karya terbaiknya di berbagai bidang. Tidak hanya berpusar pada ranah pemikiran wacana, tetapi sudah masuk ke ranah aksi-aksi operasional praksis hingga menubuh menjadi ribuan amal usaha yang tersebar seantero nusantara. Menarik untuk dicermati adalah kekuatan apa yang sanggup memelihara keutuhan dan kemanfaatan sebuah gerakan harakah untuk waktu yang demikian lama. Sementara tidak sedikit gerakan serupa di tanah air dan berbagai belahan dunia lainnya yang berumur lebih muda sudah mengalami perpecahan bahkan hilang dari panggung sejarah. Tentu bukan berarti bahwa Muhammadiyah selama ini tidak pernah mengalami krisis. Sebagaimana lazimnya suatu organisasi persyarikatan dan gerakan yang mengelola banyak ragam sumber daya baik manusia maupun aset lainnya, potensi itu senantiasa ada. Bahkan sebagai gerakan yang dicitrakan bercorak modernis, tingkat krusialnya bisa lebih tinggi, karena ruang kebebasan artikulatif memang dibuka lebar sehingga perbedaan pandangan dan pilihan perbuatan sangat mungkin terjadi. Namun, dengan izin Allah, Muhammadiyah ternyata masih mampu hadir dan barakah memberikan kontribusinya bagi kemaslahatan umat dan bangsa. Teologi Transformatif-Liberatif Jika diidentifikasi, maka kunci kekuatan itu salah satunya terletak pada konstruk teologi gerakan yang dipilih oleh Muhammadiyah, yaitu teologi yang bercorak transformatif-liberatif membebaskan. Teologi ini bersumber dari pemahaman dan penghayatan yang mendalam atas ajaran Islam sendiri yang memang dianugerahkan kepada manusia sebagai petunjuk yang membebaskan. Yakni suluh bagi manusia untuk mengatasi berbagai problematika kehidupannya di muka bumi ini secara rasional-profetik. Islam yang dihayati Muhammadiyah bukanlah ajaran spiritual-mistis yang mengasingkan manusia untuk bersikap pasif atau abai terhadap tantangan duniawi demi dalih mengejar karomah kelebihan-kelebihan mistikal atau janji-janji surgawi. Islam yang dihayati Muhammadiyah justru adalah ajaran yang senantiasa menstimuli manusia untuk mencari keselamatan ukhrawi eschatological salvation melalui keterlibatan intens sebagai khalifah dalam memperjuangkan pengelolaan dunia sehingga menjadi “surga” yang pantas dihuni oleh manusia dan makhluk lainnya dengan landasan spirit penghambaan hanya kepada Allah ubudiyatullah wahdah; tawhid. Ini merupakan titik pijak dimana Muhammadiyah kemudian meyakini bahwa nilai-nilai Islam harus menyentuh seluruh aspek kehidupan manusia tanpa terkecuali. Sebagaimana disebutkan dalam matan Kepribadiannya, bahwa Muhammadiyah "Berpegang teguh akan ajaran Allah dan Rasul-Nya, bergerak membangun di segenap bidang dan lapangan dengan menggunakan cara serta menempuh jalan yang diridlai Allah." Ini harus dipahami bukan untuk merepresi kemerdekaan manusia, tetapi untuk menanam dan meresapkan ruh yang akan menghidupi dan mampu memberi kebermaknaan dalam menjalani setiap jengkal kehidupannya. Figur sentral yang menjadi teladan Muhammadiyah tidak lain adalah Rasulullah Muhammad Saw. Beliau bukanlah agamawan yang mendidik pengikutnya untuk menjadi pertapa yang menjauhi kehidupan duniawi. Tidak pula mendidik mereka untuk menjadi pemuja kenikmatan dunia yang melalaikan kefanaannya. Tetapi beliau justru membelajarkan para pengikutnya dengan terlibat aktif dalam dunia active participation in the world melalui kerja dakwah dan jihad untuk merubah sekaligus menata kehidupan menjadi lebih baik dan berkeadaban. Manhaj inilah yang menginspirasi tokoh pendiri Muhammadiyah, Ahmad Dahlan, untuk mendedahkan pengajaran kepada para murid-muridnya tentang élan vital gerakan Islam yang bersumber pada al-Qur’an dan al-Sunnah al-Maqbulah. Baginya, al-Qur’an bukan untuk sekedar dikumandangkan secara lisan, tetapi justru harus diamalkan dalam amal tindakan. Semisal ketika mengajarkan surah al-Ma’un yang menjelaskan sifat-sifat buruk manusia yang mendustakan agama, beliau mengajak para santrinya terjun langsung ke Pasar Beringharjo, Malioboro, dan alun-alun utara kota Yogyakarta dimana tempat itu banyak berkeliaran pengemis dan fakir miskin. Beliau bersama santrinya membawa para dhuafa’ itu ke Masjid Besar Yogyakarta untuk menerima pembagian sabun dan sandang pangan gratis. Beliau mengatakan, “Membaca al-Qur’an itu harus mengerti artinya, memahami maknanya, lalu melaksanakannya … Bila cuma menghafal tanpa melaksanakannya, lebih baik tak menambah bacaan surah” Sucipto & Ramly, Tajdid Muhammadiyah, 2005. Hasil didikan ini demikian mendalam hingga membekas dalam sanubari para penerusnya. Hal tersebut dapat dibaca dari lontaran ikrar 4 empat tokoh muda generasi pertama Muhammadiyah ketika diangkat sumpah mengemban amanah sebagai ketua bidang yang pertama dibentuk oleh Hoofd Bestuur Pimpinan Pusat Muhammadiyah ketika itu, yaitu Hisyam sebagai ketua bidang Sekolahan Pendidikan, Fakhrudin sebagai ketua bidang Tabligh Dakwah, Mokhtar sebagai ketua bidang Taman Pustaka, dan Syoedja’ sebagai ketua bidang Penolong Kesengsaraan Oemoem PKU, yang menuliskan sejarah ini dalam catatannya. Hisyam menyatakan, “Saya akan membawa kawan-kawan kita pengurus Bahagian Sekolahan berusaha memajukan pendidikan dan pengajaran sampai dapat menegakkan Gedung Universiteit Muhammadiyah yang megah untuk mencetak sarjana-sarjana Islam dan Mahaguru Muhammadiyah pada khususnya guna kepentingan umat Islam pada umumnya dan Muhammadiyah pada khususnya.” Fakhrudin menyatakan, “Hendak mengembangkan Agama Islam dengan jalan bertabligh sampai dapat membangun surau-surau dan langgar-langgar serta masjid-masjid yang belum ada untuk tempat pengajian dan ibadat untuk ummat Islam setempat. Dan menyelenggarakan Madrasah Mubalighin serta membina pondok luhur yang modern untuk mencetak ulama-ulama yang ulung lagi modern untuk membimbing ummat yang terpelajar, sehingga cahaya Islam memancar menerangi semesta alam” Mokhtar menyatakan, “Akan bersungguh-sungguh berusaha menyiarkan Agama Islam yang secara Muhammadiyah kepada umum, yaitu dengan selebaran cuma-cuma atau dengan Majalah bulanan berkala atau tengah bulanan, baik yang dengan cuma-cuma maupun dengan berlangganan dan dengan buku Agama Islam baik yang prodeo tanpa beli maupun dijual yang sedapat mungkin dengan harga murah. Dan majalah-majalah dan buku-buku selebaran yang diterbitkan oleh Taman Pustaka harus yang mengandung pelajaran dan pendidikan Islam dan ditulis dengan tulisan dan bahasa yang dimengerti oleh yang dimaksud. Taman Pustaka pun hendak membangun dan membina gedung Taman Pustaka taman pembacaan untuk umum dimana-mana tempat dipandang perlu. Taman Pembacaan itu tidak hanya menyediakan buku-buku yang mengandung pelajaran Islam saja, tetapi juga disediakan buku-buku yang berfaedah dengan membawa ilmu pengetahuan yang berguna bagi kemajuan masyarakat bangsa dan negara yang tidak bertentangan kepada agama terutama agama Islam.” Syoedja menyatakan, “Hendak membangun Hospital untuk menolong kepada umum yang menderita sakit … Hendak membangun Armhuis Rumah Miskin … Hendak membangun Weeshuis Rumah yatim.” Siapapun yang mendengar lontaran kaum muda itu di masa dimana sebagian besar manusianya hidup dalam iklim penjajahan dan pasungan tradisi Islam-klenik yang mendorong mereka untuk lebih memilih hidup “aman-tenteram” dalam sikap pasrah, nrimo ing pandum, dan mengalah terhadap keadaan, empat kaum muda itu justru meneriakkan perlunya mengubah keadaan, menggubah sejarah. Bahwa kondisi kehidupan umat dan bangsa ini masih jauh dari cita-cita dan nilai-nilai sebenarnya yang terkandung dalam ajaran Islam. Mereka telah meresapi benar maklumat Tuhannya dalam al-Qur’an bahwa, “Sesungguhnya Allah tidak merobah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merobah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri” QS. XIII11. Teologi transformatif-liberatif inilah yang lantas terbukti mampu mengawal gerakan Muhammadiyah bertahan terus berkarya hingga hampir seabad dalam terpaan gelombang sejarah. Demikianlah, Muhammadiyah masih memiliki kaki untuk tegak berdiri di bumi ini karena kehadirannya memang terbukti memberi manfaat dan maslahat. Tanpa hal tersebut, niscaya Muhammadiyah hanya akan tinggal nama dan sejarah masa lalu. Muhammadiyah ternyata mampu membawakan dirinya sebagai jembatan yang menghubungkan sekaligus menerjemahkan dan memvisualisasikan pesan-pesan langit menjadi konstruk yang lebih membumi sehingga dapat dipahami dan dirasakan secara kongkrit oleh umat dan bangsa ini. Kultur Demokratik-Puritan Kunci kekuatan lainnya yang menjadikan Muhammadiyah masih sangat diharapkan berkontribusi aktif bagi kehidupan umat dan bangsa ini adalah komitmennya untuk senantiasa mengedepankan akhlak dan kultur keberagamaan yang kritis dan toleran. Karakter keberagamaannya itu mengemuka antara lain dalam salah satu diktum kaidah tarjih yang dipakai oleh Muhammadiyah, yaitu bersifat “terbuka, toleran, dan tidak beranggapan paling benar.” Maksudnya, Muhammadiyah insyaf benar bahwa kesempurnaan pemahaman dan pengamalan ajaran Islam tidak bisa diklaim secara sepihak tanpa menyadari keluasan khazanah intelektual dan budaya Islam. Ikhtiar ber-Islam secara kaaffah, meneladani jejak perjuangan Rasulullah Muhammad Saw. merupakan langkah yang menuntut keikhlasan dan kerendahan hati. Sikap “lapang dada, luas pandangan, dengan memegang teguh ajaran Islam”, harus menjadi bagian integral dari kepribadian sehingga mampu menganyam hubungan yang proporsional dalam konteks pluralitas faham dan aliran di kalangan umat Islam. Pasang-surut dinamika kehidupan yang telah dijalaninya selama ini telah menempa dan meyakinkan Muhammadiyah bahwa keterbukaan inklusivitas dengan “memperbanyak kawan dan mengamalkan ukhuwah Islamiyah” serta “kerjasama dengan golongan Islam manapun juga” merupakan langkah terbaik dalam usaha “menyiarkan dan mengamalkan agama Islam serta membela kepentingannya.” Bagi Muhammadiyah, eksklusivitas sempit bukanlah akhlak yang diajarkan oleh Islam. Rasulullah Muhammad Saw. sendiri sepanjang hidupnya telah memberikan contoh yang nyata terkait hal ini. Beliau tak pernah segan berinteraksi penuh hikmah dengan siapapun juga tanpa memandang preferensi teologisnya agama atau kepercayaan yang dianutnya, sepanjang mereka tidak menunjukkan kebencian dan permusuhannya. Dengan komunitas Yahudi, Nasrani, bahkan penyembah berhala seperti pamannya sendiri, Abu Thalib, beliau senantiasa menunjukkan akhlaknya yang terpuji. Ini sekaligus penegasan atas karakter esensial dari risalah Islam yang hadir untuk menebar rahmah, mencerahkan, dan sekaligus membebaskan. Dan misi ini hanya akan sanggup diemban oleh mereka-mereka yang memiliki kebesaran jiwa untuk memandang saudara- saudaranya sesama manusia sebagai hamba Allah yang patut dientaskan dari kegelapan akidah, ritual, akhlak, dan moralitas jahiliyah. Harapan pada anugerah hidayah petunjuk Allah untuk kemaslahatan dan keselamatan para saudaranya itu tak pupus kecuali jika kematian telah menjemputnya. Hal itu pula yang dilakukan Rasulullah Muhammad Saw. kepada pamannya terkasih, Abu Thalib. Dari sini nyata terlihat, bahwa nilai substantif dari ajaran Islam tentang keimanan tidak lain adalah kesiapan pemeluknya untuk setia mengabdi di jalan cinta. Hanya cinta dan kasih sayanglah yang sanggup menanamkan kesabaran, keteguhan, dan keyakinan dalam jiwa seseorang bahwa pintu ampunan dan rahmat Allah tak pernah tertutup bahkan untuk hamba-hamba-Nya yang tengah tenggelam dalam kejahiliyahan. Karakter ini pula yang telah diartikulasikan secara nyata oleh Ahmad Dahlan dalam hidupnya untuk dijadikan cermin bagi para santrinya. Tercatat dalam sejarah, betapa beliau juga tak segan-segan untuk berinteraksi secara konstruktif dengan komunitas yang beragam. Beliau mampu menjalin komunikasi yang baik tidak saja dengan komunitas muslim dari berbagai aliran dan faham, tetapi juga dengan komunitas non-Muslim di zamannya. Kiprahnya di berbagai pergerakan yang aktif berjuang demi umat dan bangsanya ketika itu merupakan fakta yang menegaskan hal tersebut. Pengalaman tersebut mengajarkan kepada beliau bahwa nilai-nilai demokratis yang diajarkan Islam merupakan mekanisme kehidupan yang tak terelakkan dalam kehidupan bermasyarakat atau berbangsa yang plural. Jadi, sifat demokratis ini tidak lagi menjadi konsep kosong dalam pribadi beliau, tetapi sudah menjadi realitas yang integral dalam kehidupan. Sifat ini lantas meresap dan juga menjadi bagian dari kultur keberagamaan khas Muhammadiyah selanjutnya. Kemerdekaan berfikir dan berpendapat untuk belajar dan mencari kebenaran serta hikmah merupakan tradisi yang memang hidup dan dipelihara dalam kultur keberagamaan Muhammadiyah. Karena faktor ini juga tampaknya mengapa Muhammadiyah sejak awal masa perjuangannya sudah dikategorikan sebagai gerakan modernis. Yakni gerakan yang menghargai benar nilai-nilai demokrasi dan urgensinya, tak terkecuali dalam hal beragama. Keterlibatan intens dalam menghayati dan mengamalkan Islam dalam praksis kehidupan nyata sebagaimana terilustrasikan di muka menjadikan konstruksi keberagamaan Muhammadiyah merupakan hasil dialektika yang utuh antara normativitas dan historisitas. Keberagamaan Muhammadiyah bukan hasil penelaahan atas teks-teks agama yang abai atau lepas dari konteks sejarahnya, tetapi justru merupakan penyatuan antara keduanya. Muhammadiyah memandang bahwa sumber normatif Islam memang lahir hampir 1,5 Milenium yang lampau, tetapi sebagai risalah, Islam telah ditahbiskan mampu menjadi referensi teologis, ritual, etik, dan moralitas bagi manusia hingga akhir zaman. Artinya, Islam mampu berbicara dan berdialog dengan manusia sesuai dengan bahasa generasinya masing-masing. Kemampuan ini sesungguhnya berasal dari ajaran Islam sendiri yang menggabungkan sifat konstan dan temporer. Jadi, ada aspek-aspek ajaran yang bersifat konstan atau tetap, tak berubah sepanjang zaman dan merupakan ciri yang menandainya sebagai khas Islam. Di antaranya adalah ajaran ketauhidan di bidang teologi, ibadah mahdhah ritual, dan nilai-nilai moral di bidang muamalah. Sementara itu ada juga aspek-aspek ajaran yang bersifat temporer atau dapat berubah seiring dengan perkembangan zaman, semisal tentang bentuk negara yang disesuaikan dengan kondisi masyarakat dan tuntutan politik yang ada. Sekalipun memahami bahwa ada dimensi ajaran Islam yang bersifat temporer, tidak lantas menyebabkan Muhammadiyah bisa mengubah sekehendak hatinya. Intervensi dan kreativitas nalar dalam hal-hal yang bersifat temporer juga harus mengindahkan prinsip-prinsip ajaran yang bersifat konstan. Selanjutnya, kekhasan lainnya dari kultur keberagamaan Muhammadiyah adalah coraknya yang puritan. Maksudnya, bahwa Muhammdiyah adalah gerakan keagamaan yang berupaya meletakkan seluruh bangunan keyakinan atau kredo, ritus, dan aspek keberagamaan lainnya di atas landasan dan bingkai doktrinnya yang asli. Ini menegaskan posisi teologis Muhammadiyah yang memilih untuk ber-manhaj Salafiyah, sebagaimana pernah dinyatakan oleh Dien Syamsuddin, yaitu dengan mengambil langkah al-ruju’ ila al-kitab wa al-sunnah al-maqbulah. Kembali kepada al-Qur’an dan al-Sunnah yang dapat diterima keotentikan dan kehujjahannya. Pilihan tersebut kemudian juga mengantar Muhammadiyah kepada sikap untuk tidak bermazhab. Bukannya menolak mazhab. Tapi Muhammadiyah memandang bahwa tuntutan sejati Islam atas umatnya adalah ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya Muhammad Saw., dan selebihnya adalah ketaatan yang bersandar pada ketaatan utama tersebut. Ini berarti bahwa sebenarnya tidak ada ketaatan dalam pengertian sempit kepada mazhab-mazhab tertentu. Sikap terbijak terhadap mazhab yang ada, termasuk seluruh warisan dan hasil ijtihad Islam dalam berbagai bidang, adalah menghargainya dan menempatkannya dalam posisi sejajar sebagai referensi untuk memahami dan mendekati kebenaran yang valid dari ajaran Islam itu sendiri. Artikulasi puritanisme Muhammadiyah juga tampak pada implementasi tajdid yang secara etimologis berarti pembaharuan. Tajdid Muhammadiyah sendiri bergerak simultan di dua arah, yaitu pertama berarti memperbaharui pemahaman umat atas doktrin-doktrin teologisnya di bidang akidah dan sekaligus pengamalan ritualnya ibadah mahdhah agar sesuai atau selaras dengan doktrin awalnya yang asli. Tajdid dalam pengertian ini bisa disebut sebagai gerakan purifikasi pemurnian atau juga tajrid. Bentuk kongkritnya antara lain terlihat pada kritik Muhammadiyah terhadap kepercayaan dan praktek-praktek ritual yang dikategorikan sebagai takhayul, bid’ah, dan khurafat. Sedangkan arah berikutnya adalah tajdid terutama di bidang mu’amalah yang mencakup upaya memperbaharui dan sekaligus mengembangkan upaya transformasi nilai-nilai Islam dalam aras praksis sosio-kultural. Pada konteks ini, Muhammadiyah bergerak untuk mereformasi sekaligus memodernisasi artikulasi keberagamaan umat dengan mengadaptasi secara kritis perkembangan sains dan teknologi. Contoh kongkritnya adalah adaptasi sistem pendidikan klasikal kedalam sistem pendidikan Islam yang dibangun oleh Muhammadiyah sejak awal berdirinya hingga sekarang. Dengan kultur keberagamaannya tersebut, yakni bersifat demokratik-puritan, Muhammadiyah berkehendak hadir sebagai entitas yang senantiasa aktual dengan zaman. Tetapi aktualitas Muhammadiyah dibangun dengan tetap berpijak pada landasan teologis yang secara doktrinal memiliki akar dan justifikasi pada sumber-sumber paling awal dan mendasar dari ajaran Islam. Hal ini dapat dibahasakan dengan adagium pemikiran Islam yang berkembang di kalangan Muhammadiyah, yaitu “Al-muhafazatu ala al-qadim al-salih ma'a al-akhdh wa al-ijad bi al-jadid al-aslah.” Maksudnya, menjaga dan memelihara warisan masa lalu yang baik dengan disertai sikap keterbukaan dan kesiapan untuk mengambil hal-hal baru yang membawa kemaslahatan. Dalam ungkapan itu terkandung 3 tiga prinsip mendasar, yaitu 1 Prinsip al-mura'ah konservasi. Upaya pelestarian nilai-nilai dasar yang termuat dalam wahyu untuk menyelesaikan permasalahan yang muncul dengan cara pemurnian purification ajaran Islam. Ruang lingkup pelestarian adalah bidang aqidah dan ibadah mahdhah; 2 Prinsip al-tahdithi inovasi, yaitu upaya penyempurnaan ajaran Islam guna memenuhi tuntutan spiritual masyarakat Islam sesuai dengan perkembangan sosialnya yang mencakup kerja cultural semacam reaktualisasi, reinterpretasi, dan revitalisasi ajaran Islam; dan 3 Prinsip al-ibtikari kreasi, yaitu penciptaan rumusan pemikiran Islam secara kreatif, konstraktif dalam menyahuti permasalahan aktual. Kreasi ini dilakukan dengan menerima nilai-nilai luar Islam dengan penyesuaian seperlunya adaptatif. Atau dengan penyerapan nilai dan elemen luaran dengan penyaringan secukupnya selektif Lihat hasil Munas Tarjih XXV. Jika dikomparasikan dengan konsep pengembangan masyarakat dan bangsa, maka spirit yang terkandung dalam ungkapan tersebut senafas dengan konsep Kaizen yang telah terbukti membawa bangsa Jepang mencapai puncak perkembangannya seperti dewasa ini. Prinsipnya ada tiga, yaitu ambil dan pelihara yang baik, tinggalkan yang buruk, dan ciptakan yang baru. Dengan perjuangan memperbaiki diri secara simultan continously improvement, maka prinsip-prinsip tersebut dapat mengantar komunitas manapun juga untuk bangkit dan lebih berkemajuan. Tantangan Aktual Dalam perkembangan kontemporer, perjuangan Muhammadiyah dengan karakter teologi dan kultur keberagamaannya tersebut saat ini harus diakui juga tengah menghadapi beberapa tantangan aktual yang butuh perhatian, penyikapan, dan juga langkah strategis yang operasional. Setidaknya ada dua persoalan besar yang patut dicermati terkait dengan dua karakter keberagamaan yang dipaparkan dalam tulisan ini. Pertama, Muhammadiyah dalam kiprahnya perlu menyadari realitas aktual bahwa arus globalisasi telah membentuk wajah baru kehidupan umat manusia. Dimana spirit liberalisme dan kapitalisme Barat yang cenderung imperalistik menjadi mainstream yang kian dominatif dan hegemonik. Implikasinya yang paling nyata adalah tumbuhnya puak-puak baru kaum lemah new poor; mustadh’afin jadid yang seolah menjadi residu dari perkembangan sains dan teknologi serta massifikasi industri. Jadi, di samping ada kemajuan yang luar biasa di bidang penerapan iptek di berbagai bidang, serta kian akseleratifnya retasan batas-batas negara dan budaya oleh aktivitas ekonomi yang mengakumulasi kekayaan dunia, kemiskinan justru menjadi wajah lain masyarakat modern yang kian kasat mata. Dalam tekanan global yang demikian adidaya itu, kelas-kelas jelata tersebut berada dalam posisi yang sangat rentan dan hampir tanpa ada alternatif perlindungan. Realitas ini sepatutnya dibaca oleh Muhammadiyah sebagai tantangan baru yang harus mendapatkan jawaban segera. Muhammadiyah perlu tampil dengan karakternya yang khas sebagai agen pembebasan kaum mustadh’afin agent of welfare society melalui langkah-langkah transformatif-liberatifnya. Sementara itu, kedua, secara internal, Muhammadiyah juga masih patut berbenah diri dengan melakukan kritik-otokritik terhadap langkah perjuangan yang telah ditempuh dan capaian hasil yang telah diraih selama ini. Beberapa fenomena anomali gerakan, sebagaimana pernah dibaca oleh Zakiyuddin Baidhawi, perlu juga mendapatkan respon yang serius. Di antaranya adalah kecenderungan menguatnya pola keberagamaan yang bercorak skripturalis tetapi miskin ijtihad, sehingga artikulasi Muhammadiyah tampak kaku dan mengeras. Bahkan ditengarai menjadi kurang empatik terhadap perbedaan pendapat dan pandangan dalam beragama. Suatu fenomena yang cukup ”aneh” jika hal ini dirujukkan pada karakter kultural Muhammadiyah yang bersifat demokratik-puritan. Dan sangat disayangkan jika fenomena ini kemudian juga menjurus pada adaptasi arus gerakan narasi besar Islam transnasional yang dalam manhaj keberagamaannya tampak lebih mengedepankan mihnah atau naqbah penghujatan intelektual terhadap siapapun yang tidak sefaham atau sependapat dengan pendirian mereka. Berdasarkan pengalaman historis dan kulturalnya, Muhammadiyah tentu memiliki kemampuan untuk menjawabi beragam tantangan yang ada itu. Meski harus dicatat bahwa jawaban itu ternyata tidak cukup hanya digagas dan dikonseptualisasikan. Lebih jauh, ia menuntut artikulasi yang lebih nyata dalam praksis sosial secara transfromatif-liberatif. Dalam ungkapan matan Kepribadian-nya, maka Muhammadiyah harus ”aktif dalam perkembangan masyarakat dengan maksud ishlah dan pembangunan, sesuai dengan ajaran Islam.” ResearchGate has not been able to resolve any citations for this has not been able to resolve any references for this publication.
Profil dan Biografi KH Ahmad Dahlan. Beliau dikenal sebagai pendiri Muhammadiyah, salah satu organisasi islam terbesar di juga merupakan seorang ulama dan salah satu tokoh pembaaharuan islam di Indonesia. Berkat perjuangan jasa-jasa KH Ahmad Dahlan, Pemerintah Indonesia menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional Profil dan biografi KH Ahmad Dahlan dan sejarah perjuangan KH Ahmad KH Ahmad Dahlan SingkatKyai Haji Ahmad Dahlan lahir di Yogyakarta, 1 Agustus 1868, Nama kecil KH Ahmad Dahlan adalah Muhammad Darwis. Ia merupakan anak keempat dari tujuh orang bersaudara yang keseluruhan saudaranya perempuan, kecuali adik Muhammadiyah ini termasuk keturunan yang kedua belas dari Maulana Malik Ibrahim, salah seorang yang terkemuka di antara Walisongo, yaitu pelopor penyebaran agama Islam di tersebut ialah Maulana Malik Ibrahim, Maulana Ishaq, Maulana Ainul Yaqin, Maulana Muhammad Fadlullah Sunan Prapen, Maulana Sulaiman Ki Ageng Gribig Djatinom, Demang Djurung Djuru Sapisan, Demang Djurung Djuru Kapindo, Kyai Ilyas, Kyai Murtadla, KH Muhammad Sulaiman, KH Abu Bakar, dan Muhammad Darwisy Ahmad Dahlan.Riwayat Pendidikan KH Ahmad DahlanPada umur 15 tahun, ia pergi haji dan tinggal di Mekah selama lima tahun. Pada periode ini, Ahmad Dahlan mulai berinteraksi dengan pemikiran-pemikiran pembaharu dalam Islam, seperti Muhammad Abduh, Al-Afghani, Rasyid Ridha dan Ibnu pulang kembali ke kampungnya tahun 1888, ia berganti nama menjadi Ahmad Dahlan. Pada tahun 1903, ia bertolak kembali ke Mekah dan menetap selama dua Dengan Nyai Ahmad DahlanPada masa ini, ia sempat berguru kepada Syeh Ahmad Khatib yang juga guru dari pendiri NU, KH Hasyim Asyari. Sepulang dari Mekkah, ia menikah dengan Siti Walidah, sepupunya sendiri, anak Kyai Penghulu Haji Fadhil, yang kelak dikenal dengan Nyai Ahmad Dahlan, seorang Pahlawanan Nasional dan pendiri perkawinannya dengan Siti Walidah, KH Ahmad Dahlan mendapat enam orang anak yaitu Djohanah, Siradj Dahlan, Siti Busyro, Irfan Dahlan, Siti Aisyah, Siti Zaharah. Disamping itu KH Ahmad Dahlan pernah pula menikahi Nyai Abdullah, janda H. JUGA Biografi Pierre Tendean, Kisah Heroik Sang Pahlawan Revolusila juga pernah menikahi Nyai Rum, adik Kyai Munawwir Krapyak. KH Ahmad Dahlan juga mempunyai putera dari perkawinannya dengan Nyai Aisyah adik Adjengan Penghulu Cianjur yang bernama Dandanah. Ia pernah pula menikah dengan Nyai Yasin Pakualaman Dengan Organisasi Budi Utomo Dengan maksud mengajar agama, pada tahun 1909 Kiai Dahlan masuk Boedi Oetomo – organisasi yang melahirkan banyak tokoh-tokoh nasionalis. Di sana beliau memberikan pelajaran-pelajaran untuk memenuhi keperluan yang diberikannya terasa sangat berguna bagi anggota Boedi Oetomo sehingga para anggota Boedi Oetomo ini menyarankan agar ia membuka sekolah sendiri yang diatur dengan rapi dan didukung oleh organisasi yang bersifat tersebut dimaksudkan untuk menghindari nasib seperti pesantren tradisional yang terpaksa tutup bila kiai pemimpinnya meninggal MuhammadiyahSaran itu kemudian ditindaklanjuti Kiai Dahlan dengan mendirikan sebuah organisasi yang diberi nama Muhammadiyah pada 18 November 1912 8 Dzulhijjah 1330.Organisasi ini bergerak di bidang kemasyarakatan dan pendidikan. Melalui organisasi inilah beliau berusaha memajukan pendidikan dan membangun masyarakat KH Ahmad DahlanPemikiran KH Ahmad Dahlan bahwa Islam hendak didekati serta dikaji melalui kacamata modern sesuai dengan panggilan dan tuntutan zaman, bukan secara mengajarkan kitab suci Al Qur’an dengan terjemahan dan tafsir agar masyarakat tidak hanya pandai membaca ataupun melagukan Qur’an semata, melainkan dapat memahami makna yang ada di demikian diharapkan akan membuahkan amal perbuatan sesuai dengan yang diharapkan Qur’an itu sendiri. Menurut pengamatannya, keadaan masyarakat sebelumnya hanya mempelajari Islam dari kulitnya tanpa mendalami dan memahami Islam hanya merupakan suatu dogma yang mati. Di bidang pendidikan, ia mereformasi sistem pendidikan pesantren zaman menurutnya tidak jelas jenjangnya dan tidak efektif metodenya lantaran mengutamakan menghafal dan tidak merespon ilmu pengetahuan KH Ahmad Dahlan mendirikan sekolah-sekolah agama dengan memberikan pelajaran pengetahuan umum serta bahasa Belanda. Bahkan ada juga Sekolah Muhammadiyah seperti met de Qur’an. Sebaliknya, beliau pun memasukkan pelajaran agama pada sekolah-sekolah terus mengembangkan dan membangun sekolah-sekolah. Sehingga semasa hidupnya, beliau telah banyak mendirikan sekolah, masjid, langgar, rumah sakit, poliklinik, dan rumah yatim dakwah pun tidak ketinggalan. Beliau semakin meningkatkan dakwah dengan ajaran pembaruannya. Di antara ajaran utamanya yang terkenal, beliau mengajarkan bahwa semua ibadah diharamkan kecuali yang ada perintahnya dari Nabi Muhammad JUGA Biografi Mohammad Hatta, Kisah Proklamator Indonesia Yang Sangat SederhanaBeliau juga mengajarkan larangan ziarah kubur, penyembahan dan perlakuan yang berlebihan terhadap pusaka-pusaka keraton seperti keris, kereta kuda, dan samping itu, beliau juga memurnikan agama Islam dari percampuran ajaran agama Hindu, Budha, animisme, dinamisme, dan AisyiyahDi bidang organisasi, pada tahun 1918, beliau membentuk organisasi Aisyiyah yang khusus untuk kaum wanita. Pembentukan organisasi Aisyiyah, yang juga merupakan bagian dari Muhammadiyah Hizbul WathanKarena menyadari pentingnya peranan kaum wanita dalam hidup dan perjuangannya sebagai pendamping dan partner kaum pria. Sementara untuk pemuda, Kiai Dahlan membentuk Padvinder atau Pandu – sekarang dikenal dengan nama Pramuka – dengan nama Hizbul Wathan disingkat sana para pemuda diajari baris-berbaris dengan genderang, memakai celana pendek, berdasi, dan bertopi. Hizbul Wathan ini juga mengenakan uniform atau pakaian seragam, mirip Pramuka Hizbul Wathan ini dimaksudkan sebagai tempat pendidikan para pemuda yang merupakan bunga harapan agama dan bangsa. Sebagai tempat persemaian kader-kader sekaligus menunjukkan bahwa Agama Islam itu tidaklah kolot melainkan progressif. Tidak ketinggalan zaman, namun sejalan dengan tuntutan keadaan dan kemajuan Pembaharu IslamKarena semua pembaruan yang diajarkan Kyai Dahlan ini agak menyimpang dari tradisi yang ada saat itu, maka segala gerak dan langkah yang dilakukannya dipandang aneh. Sang Kiai sering diteror seperti diancam bunuh, rumahnya dilempari batu dan kotoran mengadakan dakwah di Banyuwangi, beliau diancam akan dibunuh dan dituduh sebagai kiai palsu. Walaupun begitu, beliau tidak mundur. Beliau menyadari bahwa melakukan suatu pembaruan ajaran agama mushlih pastilah menimbulkan gejolak dan mempunyai penuh kesabaran, masyarakat perlahan-lahan menerima perubaban yang diajarkannya. Tujuan mulia terkandung dalam pembaruan yang tindak perbuatan, langkah dan usaha yang ditempuh Kiai ini dimaksudkan untuk membuktikan bahwa Islam itu adalah Agama kemajuan. Dapat mengangkat derajat umat dan bangsa ke taraf yang lebih ini ternyata membawa dampak positif bagi bangsa Indonesia yang mayoritas beragama Islam. Banyak golongan intelektual dan pemuda yang tertarik dengan metoda yang dipraktekkan Kiai Dahlan ini sehingga mereka banyak yang menjadi anggota perkembangannya, Muhammadiyah kemudian menjadi salah satu organisasi massa Islam terbesar di Indonesia. Melihat metoda pembaruan KH Ahmad Dahlan JUGA Biografi Untung Surapati, Kisah Sang Budak Menjadi Seorang PahlawanBeliaulah ulama Islam pertama atau mungkin satu-satunya ulama Islam di Indonesia yang melakukan pendidikan dan perbaikan kehidupan um’mat, tidak dengan pesantren dan tidak dengan kitab karangan, melainkan dengan selama hidup, beliau diketahui tidak pernah mendirikan pondok pesantren seperti halnya ulama-ulama yang lain. Dan sepanjang pengetahuan, beliau juga konon belum pernah mengarang sesuatu kitab atau buku sebagai organisasi tempat beramal dan melaksanakan ide-ide pembaruan Kiai Dahlan ini sangat menarik perhatian para pengamat perkembangan Islam dunia ketika itu. Para sarjana dan pengarang dari Timur maupun Barat sangat memfokuskan perhatian pada Kiai Haji Akhmad Dahlan pun semakin tersohor di dunia. Dalam kancah perjuangan kemerdekaan Republik Indonesia, peranan dan sumbangan beliau sangatlah besar. Kiai Dahlan dengan segala ide-ide pembaruan yang diajarkannya merupakan saham yang sangat besar bagi Kebangkitan Nasional di awal abad Dahlan menimba berbagai bidang ilmu dari banyak kiai yakni KH Muhammad Shaleh di bidang ilmu fikih; dari KH Muhsin di bidang ilmu Nahwu-Sharaf tata bahasa; dari KH Raden Dahlan di bidang ilmu falak astronomi.Dari Kiai Mahfud dan Syekh KH Ayyat di bidang ilmu hadis; dari Syekh Amin dan Sayid Bakri Satock di bidang ilmu Al-Quran, serta dari Syekh Hasan di bidang ilmu pengobatan dan racun Ahmad Dahlan WafatPada usia 54 tahun, tepatnya pada tanggal 23 Februari 1923, Kiai Haji Akhmad Dahlan wafat di Yogyakarta. Beliau kemudian dimakamkan di kampung Karangkajen, Brontokusuman, wilayah bernama Mergangsan di Pahlawan NasionalAtas jasa-jasa Kiai Haji Akhmad Dahlan maka negara menganugerahkan kepada beliau gelar kehormatan sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional. Gelar kehormatan tersebut dituangkan dalam SK Presiden RI Tahun 1961, tgl 27 Desember tentang KH Ahmad Dahlan juga diangkat ke layar lebar pada tahun 2010 dengan judul film Sang Pencerah yang menceritakan tentang kisah KH Ahmad Dahlan dan terbentuknya KH Ahmad Dahlan sendiri dibintangi oleh Iksan Tarore sebagai Tokoh Ahmad Dahlan Muda dan kemudian Lukman Sardi sebagai KH Ahmad Dahlan. Film ini sendiri disutradarai oleh Hanung Bramatyo. Itulah profil dan biografi KH Ahmad Dahlan sebagai pendiri Muhammadiyah dan sejarah diambil dari Silahkan di copy sebagai bahan referensi, Mohon cantumkan sumber
tuliskan 3 kepribadian yang dapat diteladani dari tokoh pendiri muhammadiyah